LIPUTANTANJAB.COM – Desa Sekancing, Kecamatan Tiang Pumpung, Kabupaten Merangin, yang tak lain adalah kampung halaman Gubernur Jambi, Al Haris, kini menghadapi ancaman besar. Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang diduga difasilitasi oleh oknum Kepala Desa Sekancing ‘S, membuat masyarakat marah, karena akan merusak budaya sekaligus menghancurkan lingkungan.
Padahal, Sekancing selama ini dikenal sebagai desa yang patuh dengan adat yang kuat menjaga tradisi. Masyarakat hidup dengan mencari ikan di lubuk dan sungai, berkebun, serta memegang teguh aturan adat yang melarang kerusakan alam.
Namun, sejak 2020, wajah desa berubah setelah dompeng emas ilegal masuk.
Kondisi makin buruk ketika pada 2022, alat berat (excavator) mulai beroperasi. Informasi lapangan menyebutkan, alat berat tersebut bukan datang begitu saja, melainkan disewa dengan inisiasi oknum Kepala Desa.
Situasi kian parah pada 2024, saat jumlah alat berat bertambah. Kini, sedikitnya ada empat unit excavator yang bebas menggali di wilayah Sekancing, bahkan sampai masuk ke kawasan Taman Nasional Bukit Barisan yang seharusnya dilindungi.
Warga Resah: “Kampung Gubernur Saja Hancur, Apalagi Kampung mengaku kecewa sekaligus sedih.
“Sekancing ini kampungnya Pak Gubernur Al Haris. Kalau di kampung gubernur saja alat berat dibiarkan merusak hutan, bagaimana dengan kampung lain? Kami resah, budaya kami hilang, sungai kami rusak, kebun kami tertimbun lumpur. Kepala desa yang seharusnya menjaga, malah jadi orang pertama membuka jalan PETI.” Ucap warga yang namanya tak disebutkan.
“Kami dulu hidup dari sungai tempat kami mencari ikan dan berkebun. Anak-anak kami diajarkan adat menjaga sungai, jangan merusak hutan. Tapi sekarang semua rusak. Kalau alat berat ini terus dibiarkan, habis kampung kami. Masa depan anak-anak kami suram,” ujarnya dengan nada lirih.
Analisis Hukum: Kades Bisa Dijerat Pidana Berlapis
Aktivitas PETI di Desa Sekancing melanggar banyak aturan:
Pasal 158 UU No. 3/2020 (Minerba): Penambangan tanpa izin dipidana penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
UU No. 32/2009 (Lingkungan Hidup): Perusakan lingkungan hidup dapat dipidana berat.
UU No. 6/2014 (Desa): Kepala desa yang menyalahgunakan jabatan demi keuntungan pribadi bisa diberhentikan dan diproses pidana.
Jika ada aliran uang atau gratifikasi, maka bisa dijerat UU Tipikor.
Tuntutan Tegas
Masyarakat mendesak penegak hukum, mulai dari Polres Merangin, Polda Jambi, Gakkum KLHK hingga KPK, untuk segera menindak tegas aktivitas tambang ilegal ini.
“Sekancing bukan desa biasa, ini kampung gubernur. Kalau di sini saja hukum tidak jalan, bagaimana di tempat lain? Kami tidak ingin kampung kami diwariskan dalam bentuk kerusakan. Tutur Masyarakat.”
Analisis Dampak Aktivitas PETI di Desa Sekancing
Dampak Ekonomi Jangka Panjang
Hilangnya sumber penghidupan tradisional
Aktivitas tambang ilegal menyebabkan kerusakan lubuk dan sungai, yang selama ini menjadi sumber ikan bagi masyarakat. Kebun juga banyak rusak akibat lumpur tambang. Dalam jangka panjang, warga kehilangan sumber penghasilan utama karena tanah produktif tidak bisa lagi digarap.
Kerugian negara
Karena PETI tidak memiliki izin resmi, negara kehilangan potensi pajak, royalti, dan retribusi yang seharusnya masuk ke kas daerah maupun pusat. Tambang ilegal hanya memperkaya segelintir orang, sementara masyarakat luas dan pemerintah merugi.
Biaya pemulihan lingkungan yang tinggi
Kerusakan hutan dan sungai akibat alat berat akan menimbulkan biaya rehabilitasi besar. Berdasarkan pengalaman daerah lain, butuh puluhan tahun serta anggaran triliunan rupiah untuk memulihkan ekosistem yang rusak akibat PETI.
Ketergantungan ekonomi jangka pendek
Masyarakat yang tergiur ikut bekerja di tambang hanya mendapat penghasilan instan tanpa kepastian. Ketika tambang ditutup atau sumber emas habis, mereka akan kehilangan mata pencaharian dan tidak lagi memiliki tanah/kebun yang produktif.
Dampak Sosial
Hilangnya identitas budaya
Tradisi menjaga lubuk larangan, adat menjaga sungai, dan cara hidup selaras dengan alam akan hilang karena masyarakat dipaksa bergantung pada tambang. Nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini diwariskan nenek moyang berpotensi punah.
Meningkatnya konflik sosial
Aktivitas PETI sering menimbulkan gesekan antara masyarakat pro dan kontra. Ada warga yang menolak karena takut lingkungan rusak, ada pula yang mendukung karena mendapat pekerjaan. Konflik horizontal di desa menjadi ancaman serius.
Degradasi moral dan kriminalitas
Uang dari hasil tambang ilegal sering memicu gaya hidup konsumtif, perjudian, hingga kriminalitas. Desa yang sebelumnya tenang bisa berubah menjadi rawan konflik dan tindak kejahatan.
Krisis kesehatan masyarakat
Sungai yang tercemar limbah tambang (merkuri dan sianida) akan berdampak pada kualitas air. Warga berpotensi mengalami penyakit kulit, gangguan pernapasan, hingga penyakit kronis akibat pencemaran bahan kimia.
Ketidakpercayaan terhadap pemerintah
Keterlibatan oknum kepala desa membuat masyarakat kehilangan kepercayaan kepada pemimpin lokal. Bahkan bisa merembet pada runtuhnya legitimasi pemerintah daerah jika aparat terkesan membiarkan aktivitas PETI.
Dengan kondisi ini, kerugian Desa Sekancing bukan hanya soal alam yang rusak, tetapi juga masa depan generasi muda yang kehilangan identitas, penghidupan, dan harapan.