LIPUTANTANJAB.COM – , dilaksanakan Konferensi Pers bertempat di Kantor WALHI Jambi yang merupakan gabungan dari petani di Provinsi jambi yang berada disekitar maupun dalam kawasan hutan yang kemudian berkolaborasi menjadi Aliansi Petani Jambi Menggugat. Jambi 31 Juli 2025
Penertiban kawasan hutan yang dilakukan pemerintah belakangan ini menimbulkan reaksi karna hal ini tidak bisa dipandang sekedar sebagai upaya administratif atau legal formal, melainkan harus secara menyeluruh dari perpektif keadilan ekologis, hak asasi manusia dan keberlanjutan lingkungan.
Hal ini juga berpotensi untuk melegitimasi perampasan ruang hidup masyarakat adat dan lokal yang telah lama menjaga dan mengelola hutan secara lestari namun kini dianggap sebagai perambah oleh negara serta memperkuat penguasaan hutan oleh industry ekstratif.
Aliansi Petani Jambi Menggugat menyampaikan keprihatinan mendalam atas kebijakan Penertiban Kawasan Hutan yang dilakukan Pemerintah melalui Perpres No 5 tahun 2025, Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang dilakukan oleh Satgas PKH berpotensi menjadi alat untuk melakukan kriminalisasi yang akan dihadapi oleh Masyarakat yang berada dalam kawasan hutan, sedangkan wilayah kerja Korporasi masih banyak yang tidak memiliki izin bahkan masuk alam kawasan hutan yang tidak tersentuh oleh satgas PKH.
Terlebih Perpres memberikan kewenangan terhadap satgas untuk melakukan penertiban, namun tidak mengatur bagaimana mekanisme penyitaan, penyegelan, dan pengambilan alih secara jelas.
Oscar Anugrah, Direktur WALHI Jambi menyampaikan hutan bukan sekedar komoditas ekonomi, tetapi ruang hidup, identitas budaya dan penyangga ekosistem yang harus dijaga bersama. Negara harus berpihak pada rakyat, bukan pada korporasi perusak lingkungan. Negara harus hadir untuk melindungi rakyat, bukan memberi karpet merah bagi industri besar yang sejak lama menjadi aktor utama deforestasi dan konflik lahan.
Penertiban kawasan hutan yang mengabaikan hak masyarakat adalah bentuk kekerasan structural yang dilegalkan oleh negara, jika negara terus abai dan membiarkan ketimpangan penguasaan ruang terjadi, maka WALHI yang akan berdiri dibarisan terdepan untuk mempertahankan hidup rakyat. Kami tidak akan diam ketika ruang hidup rakyat dirampas atas nama penataan,
Koreksi kawasan hutan bukan semata perkara teknis spasial atau legalisasi status.
“Ini adalah soal keadilan ekologis, dan pemulihan hak masyarakat atas ruang hidup. Maka, upaya koreksi harus dimulai dari pengakuan terhadap masyarakat sebagai pemilik sah kawasan yang telah mereka kelola secara arif selama puluhan bahkan ratusan tahun. pungkas Oscar Anugrah.
Erizal, Ketua Persatuan Petani Jambi menyampaikan bahwa Satgas Penertiban Kawasan Hutan ini menajadi kekhawatiran dan persoalan petani terutama masyarakat yang berada dalam kawasan hutan yang tinggal dan beraktifitas terlebih pendekatan yang dilakukan menggunakan militerisme dalam penertiban kawasan hutan.
Martamis dari Serikat Tani Tebo dan Masyarakat Desa Lubuk Mandarsyah menyampaikan bahwa tanah adalah nyawa petani, negara harus melaksanakan reforma agrarian sejati dalam mewujudkan keadilan sosial.
Frandody, Korwil KPA Jambi menyampaikan petani butuh tanah, bukan Satgas PKH, Petani butuh pupuk bukan senjata, petani butuh diskusi bukan diintimidasi, Cabut izin PT.WKS Laksanakan Reforma Agraria Sejati.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika menyampaikan beberapa poin kritis terhadap proses pelaksanaan penertiban kawasan hutan oleh Satgas PKH.
Pertama, proses penertiban ini harus memiliki prinsip transparansi. Artinya pemerintah harus membuka data lokasi mana yang akan ditertibkan. Jangan sampai operasi ini justru menyasar lokasi-lokasi masyarakat yang sebelumnya dicaplok oleh klaim kawasan hutan atau HTI korporasi.
Alih-alih menertibkan konsesi-konsesi yang mencaplok kawasan hutan atau tanah-tanah masyarakat;
Kedua, Penertiban Kawasan Hutan ini harus mempertimbangkan historis penguasaan tanah dari masyarakat. Artinya Satgas PKH ini jangan sampai mengabaikan masalah-masalah struktural yang terjadi. Selama ini, banyak penetapan kawasan hutan (domeinverklaring) dilakukan secara sepihak tanpa melihat kenyataan di lapangan sehingga banyak tanah-tanah garapan petani, pemukiman masyarakat dan desa-desa defenitif diklaim sebagai kawasan hutan.
Kebijakan ini harus diarahkan untuk memulihkan hak-hak masyarakat sebab Perpres PKH juga ini juga berbicara tentang reforma agraria. Artinya, ia harus dioperasikan untuk menertibkan klaim kawasan hutan akibat kesalahan kebijakan di masa lalu dan operasi konsesi-konsesi kehutanan yang selama ini mencaplok tanah masyarakat dan memonopoli tanah. Hasil-hasil penertiban tersebut kemudian harus dikembalikan ke masyarakat melalui redistribusi tanah dan reforma agraria.
Ketiga, Satgas PKH ini jangan sampai menjadi modus korporasi yang sudah melanggar selama ini untuk menghindar dari sanksi yang lebih berat. Sebab mengacu pada Perpres ini, sanksinya hanya sebatas sanksi administrasi,” tegas Dewi.
Dewi juga mengingatkan Pemerintah jangan bermain-main menggunakan Satgas untuk menggusur petani. “Patut diduga ada main mata antara Satgas PHK di Jambi dengan perusahaan HTI WKS – Sinar Mas Group, yang selama ini berkonflik puluhan tahun dengan para petani,” tukasnya.
Eksekutif Nasional WALHI juga turut memberikan tanggapan tarkait satgas PKH ini. Teo Reffelsen, Manajer hukum dan pembelaan WALHI Nasional menyoroti setidaknya ada 3 hal, Pertama, Satgas PKH melalui Perpres 5/2025 ini secara hierarkis bertentangan UU 18/2013 dan PP 24/2021 yang mengatur penyelesaian pelanggaran korporasi melalui Penegakan Pidana, Pencabutan Izin, dan Denda Administrasi.
Kedua, Perpres 5/2025 ini tidak mengatur secara tegas bagaimana jika di kawasan hutan tersebut ada hak masyarakat lokal dan masyarakat adat yang seharusnya konfliknya dengan Kawasan Hutan juga diselesaikan melalui mekanisme reforma agraria dan penataan batas yang mengeluarkan tanah-tanah masyarakat dari kawasan hutan.
Ketiga, Perpres 5/2025 ini juga tidak mengatur mengenai audit komprehensif semua perizinan di dalam kawasan hutan, baik itu perkebunan maupun pertambangan. Keempat, informasi terkait dengan penertiban juga tidak dipublikasi secara berkala sehingga publik tidak bisa mengawasi kerja Satgas PKH secara aktif, informasi tersebut penting untuk mencegah masyarakat yang berkonflik dengan kawasan hutan menjadi korban dan digusur. Pungkas Teo.
Narahubung:
1. Oscar Anugrah :Direktur ED WALHI Jambi- 0811-7492-662
2. Dewi Kartika : Sekjend KPA – 0813-9447-5484
3. Frandody :Korwil KPA Jambi- 0823-7142-5487
4. Teo Reffelsen : Manajer Pembelaan dan Hukum WALHI Nasional- 0852-7311-1161
5. Erizal : Persatuan Petani Jambi- 0853-8064-1869
6. Martamis : Serikat Tani Tebo- 0823-0736-6344